Kekayaan yang Memberkahi: Meneladani Kemuliaan Abdurrahman bin Auf

Oleh: Inayatullah A. Hasyim

Dalam narasi kehidupan modern, kekayaan seringkali dipersepsikan sebagai tujuan akhir yang berdiri sendiri. Ia dirayakan dalam angka-angka, simbol status, dan gaya hidup. Namun, Islam menawarkan perspektif yang lebih dalam dan transformatif: kekayaan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia, yaitu ridha Ilahi. Kekayaan dalam pandangan Islam adalah amanah, ujian, dan sekaligus medan untuk berlomba dalam kebaikan. Ia hanya akan bernilai jika mampu menghantarkan pada keberkahan, yaitu tambahan kebaikan dan manfaat yang terus mengalir, dunia hingga akhirat.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah memberikan rambu-rambu yang jelas tentang harta yang memberkahi dan yang justru melenakan. Sabda beliau,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Hadits ini mengajarkan bahwa ukuran sejati bukanlah pada kuantitas kepemilikan, tetapi pada kualitas jiwa dalam mensyukuri, mengelola, dan mendistribusikan harta tersebut. Jiwa yang kaya (ghina an-nafs) adalah jiwa yang merasa cukup dengan yang halal, tidak diperbudak oleh ketamakan, dan melihat harta sebagai kendaraan untuk berbuat kebajikan.

Kisah hidup Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘Anhu adalah teladan paling cemerlang tentang kekayaan yang diberkahi. Ia adalah salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, seorang kapitalis sejati yang hartanya menjadi instrument rahmat bagi masyarakat. Abdurrahman bin Auf adalah pedagang yang sangat sukses. Namun, kesuksesan materialnya tidak membuatnya lalai. Justru, ia menjadi saluran terbesar untuk menopang perjuangan dakwah Islam.

Ketika hijrah ke Madinah, ia dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Rabi' Al-Anshari. Melihat saudara barunya yang datang tanpa harta, Sa'ad -- seorang yang kaya-raya -- langsung tergerak untuk membantunya dengan tawaran yang sangat mulia.

Sa'ad bin Rabi' berkata:

"يا أخي،إنني أكثر الأنصار مالاً، فانظر شطر مالي فخذه، وتحتي امرأتان، فانظر أيتهما أعجب إليك حتى أطلّقها وتتزوجها."

"Wahai saudaraku, sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Ambillah separuh hartaku. Dan aku memiliki dua istri, lihatlah mana yang lebih engkau sukai, akan kuceraikan dia agar engkau dapat menikahinya."

Tawaran yang hampir tak terbayangkan ini ditolak dengan lembut dan penuh keimanan oleh Abdurrahman bin Auf. Dengan jiwa yang mulia dan percaya diri pada karunia Allah, ia hanya meminta ditunjukkan jalan ke pasar.

Abdurrahman bin Auf menjawab:

"بارك الله لك في أهلك ومالك،دلوني على السوق"

"Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu.Cukup tunjukkan saja kepadaku di mana pasar."

Ia bersumpah untuk menjadi pedagang dan sukses. Doanya terkabul. Dengan kejujuran, kecerdasan, dan keuletannya, setiap dagangannya berlipat ganda menghasilkan keuntungan yang besar.

Namun, kekayaannya tidak ia timbun. Ia adalah penyandang dana bagi banyak operasi militer dan sosial di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Dalam Perang Tabuk, ia menyumbang setinggi-tingginya: 200 uqiyah emas, membuat Rasulullah bersabda, "Abdurrahman bin Auf, sungguh ia seorang yang shalih," dan mendoakannya, "Semoga Allah memberkati apa yang engkau berikan dan juga apa yang engkau tinggalkan." Doa Nabi ini adalah kunci keberkahan hartanya. Ia memberi namun tidak pernah miskin, justru semakin kaya raya.

Sebagai seorang yang sangat kaya, Abdurrahman bin Auf tetap menjunjung tinggi nilai kesederhanaan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah memberikan keringanan untuk menggunakan sutera bagi mereka yang memiliki alasan medis yang kuat.

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه: أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَالزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ فِي لُبْسِ الْحَرِيرِ لِحِكَّةٍ بِهِمَا.

"Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu: Bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberikan keringanan (rukhshah) untuk Abdurrahman bin Auf dan Az-Zubair bin Al-Awwam untuk memakai sutera karena penyakit gatal yang menimpa mereka berdua." (HR. Al-Bukhari).

Puncak kedermawanannya adalah ketika ia mewasiatkan 50.000 dinar untuk baitul mal, memberikan kuda dan senjata bagi setiap prajurit, serta membebaskan banyak budak. Yang lebih mengagumkan adalah sikapnya ketika ia wafat. Ia meninggalkan warisan yang sangat besar, namun ia pernah menangis ketakutan, khawatir hartanya justru membuatnya tertinggal dari para sahabat yang syahid lebih dulu. Kekhawatiran ini menunjukkan kesucian hatinya; ia tidak pernah terikat pada hartanya.

Abdurrahman bin Auf memahami esensi dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

"Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (secara materi), dan yang menyembunyikan (kekayaannya dan kemuliaannya)." (HR. Muslim).

Merenungi teladan agung ini, Dr. Yusuf Al-Qaradawi -- seorang ulama kontemporer yang dalam pemikirannya tentang ekonomi Islam -- pernah memberikan nasihat yang sangat berharga. Beliau berkata:

لَيْسَ الْفَقْرُ بِعَيْبٍ، وَلَكِنَّ العَيْبَ كُلَّ العَيْبِ أَنْ تَكُونَ الأَمْوَالُ عِنْدَ مَنْ لاَ يَعْرِفُ حَقَّ اللهِ فِيهَا، فَلاَ يُؤَدِّي زَكَاتَهَا، وَلاَ يُنْفِقُهَا فِي وُجُوهِ البِرِّ، وَلاَ يَبْذُلُ مِنْهَا لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ، فَهَذِهِ هِيَ المَصِيبَةُ الْكُبْرَى

"Kefakitan bukanlah aib.Tetapi aib yang sesungguhnya adalah ketika harta benda berada di tangan orang yang tidak mengetahui hak Allah di dalamnya. Ia tidak menunaikan zakatnya, tidak menafkahkannya pada jalan kebajikan, dan tidak memberikannya kepada orang-orang fakir dan miskin. Inilah musibah yang terbesar." (Yusuf Al-Qaradawi, "Al-Iman wal Hayah")

Nasihat Syaikh Al-Qaradawi ini menegaskan bahwa keberkahan kekayaan sangat bergantung pada etika pengelolaannya. Zakat, infak, dan sedekah (ZIS) bukan sekadar mengurangi harta, tetapi justru membersihkan, mengembangkan, dan memberkahinya.

Dalam konteks kekinian, meneladani Abdurrahman bin Auf berarti membangun mentalitas entrepreneur yang berintegritas, yang tidak mengejar profit dengan cara haram, tetapi dengan prinsip halal dan thayyib. Ia berarti membangun bisnis yang tidak hanya memikirkan shareholder, tetapi juga stakeholder yang lebih luas: karyawan, masyarakat, dan lingkungan.

Kekayaan yang berkah adalah kekayaan yang tidak membuat pemiliknya lupa diri, tetapi justru membuatnya semakin tunduk kepada Sang Pemberi Rezeki. Abdurrahman bin Auf telah pergi, tetapi sedekah jariyahnya, ilmu yang bermanfaat dari hartanya, dan keteladanannya masih terus mengalirkan pahala hingga hari ini. Itulah kekayaan sejati. Itulah kekayaan yang memberkahi.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posted at: 2025-09-14 03:47:06