Oleh: Inayatullah A. Hasyim
Dalam kesunyian jiwa yang merindukan cahaya Ilahi, seringkaki terselip duri halus bernama kecemburuan spiritual. Sebuah kegelisahan yang lahir dari anggapan bahwa amal kebajikan memiliki hierarki rigid, terukur dari gemerincing koin yang berhamburan. Lantas, di manakah mereka yang hanya mampu mempersembahkan getaran suara dari bibir yang pecah? Apakah mereka terpinggirkan dalam perlombaan meraih ridha-Nya?
Sebentuk mutiara hikmah memancar dari sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam riwayat Imam Muslim. Dikisahkan, suatu senja, para sahabat yang fakir mendatangi kekasih Allah dengan wajah yang mengembang gundah. "Wahai Rasulullah," keluh mereka dengan suara bergetar, "orang-orang kaya itu pergi membawa pahala yang berlimpah. Mereka shalat seperti kami, berpuasa seperti kami, namun mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta yang tak kami miliki."
Keluh kesah ini bagai cermin yang memantulkan kegelisahan abadi manusia -- sebuah kekhawatiran akan tertinggal dalam perlombaan kebaikan. Melihat mereka yang bersedekah dengan harta benda, sementara mereka hanya mampu mempersembahkan jiwa yang lapar dan tangan yang kosong.
Lalu, dengan kelembutan yang mengubur segala kegelisahan, Rasulullah menawarkan solusi yang mengubah paradigma. "Bukankah Allah telah menganugerahkan bagi kalian sesuatu untuk disedekahkan?" sabda Beliau dengan mata yang memancar hikmah. "Setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah..."
Beliau bahkan menyempurnakan dengan mengajarkan amalan spesifik: "Bacalah 33 kali tasbih, 33 kali tahmid, dan 33 kali takbir setiap usai shalat." Dalam riwayat lain, genapkan menjadi seratus dengan Laa ilaha illallah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ، وَقَالَ: تَمَامَ الْمِائَةِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ"
"Barangsiapa yang bertasbih kepada Allah di akhir setiap shalat sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali, maka itu berjumlah 99. Dan untuk melengkapi seratus ia ucapkan: Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa 'ala kulli syai'in qadir, niscaya diampuni dosa-dosanya meski sebanyak buih di lautan."
Para sahabat miskin itu pun berpulang dengan hati berbunga-bunga. Mereka telah menemukan mata uang spiritual untuk berlomba dalam kebaikan. Namun, cerita tak berhenti di sini. Konon, orang-orang kaya yang mendengar hal ini ikut mengamalkan dzikir yang sama. Kembali para fakir miskin datang dengan kegundahan: "Wahai Rasulullah, saudara-saudara kami yang kaya telah menirukan amalan kami."
Pada detik itulah, bagai kunci yang membuka peti hikmah terdalam, Rasulullah membacakan firman Ilahi:
"ذَٰلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ"
"Dan yang demikian itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Jumu'ah: 4)
Ayat ini bukan sekadar penenang, melainkan deklarasi agung tentang keadilan Ilahi. Dalam konteks inilah, nasihat Ali bin Abi Thalib menemukan relevansinya: "لا تستجي من إعطاء القليل فإن الخير في العطاء مهما قل" – "Janganlah remehkan pemberian yang sedikit, karena kebaikan itu terletak pada pemberian meskipun kecil."
Pelajaran dari hadits dan ayat ini adalah pelajaran tentang inklusivitas Islam. Untuk yang kaya, ada jalannya. Untuk yang miskin, ada jalannya yang tak kalah mulia. Allah Maha Adil. Takkan Dia biarkan hamba-Nya yang fakir kehilangan jalan menuju kemuliaan.
Maka, wahai saudaraku yang miskin harta, jangan bersedih. Karunia Allah untukmu adalah dzikir dan ucapan baik yang bisa kau sedekahkan setiap saat. Itulah kekayaanmu yang sejati. Dan wahai saudaraku yang kaya, jangan lupa bahwa sedekah materi harus dibarengi dengan sedekah hati. Karena pada akhirnya, di hadapan fadlul al-'azhim, kita semua adalah fakir yang sama-sama berharap kemurahan-Nya.
Kita semua adalah orang miskin di hadapan-Nya, yang hanya bisa 'bersedekah' dengan apa yang telah Dia karuniakan untuk kita sendiri. Wallahu a'lam bish-shawab.