Tawadhu’: Jalan Para Pencinta Ilahi

Oleh: Inayatullah A. Hasyim

Di tengah gemerlap dunia yang memuja-muja keakuan, di mana kesombongan kerap disalahartikan sebagai kekuatan dan kerendahan hati dipandang sebelah mata, Islam justru menghadirkan mutiara akhlak yang memancarkan cahaya abadi: tawadhu’. Ia bukanlah kehinaan, melainkan puncak kemuliaan. Bukan kelemahan, tetapi kekuatan sejati yang menggerakkan hati.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sang insan kamil, adalah teladan agung ketawadhuan. Suatu hari, seorang badui datang menemui Baginda dengan gemetar ketakutan. Melihat hal itu, Rasulullah menenangkannya dengan ucapan lembut, "هَوِّنْ عَلَيْكَ، فَإِنِّي لَسْتُ بِمَلِكٍ، إِنَّمَا أَنَا ابْنُ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ كَانَتْ تَأْكُلُ الْقَدِيدَ" ("Tenanglah, sesungguhnya aku bukan seorang raja. Aku hanyalah anak seorang wanita dari Quraisy yang biasa makan dendeng.") (HR. Ibnu Majah). Inilah puncak ketawadhuan: seorang Nabi yang alam semesta bersujud untuknya, merendahkan diri di hadapan seorang manusia biasa.

Para sahabat, yang disinari cahaya kenabian, mewarisi sifat mulia ini. Umar bin Khattab, sang penguasa imperium besar, sering terlihat dengan pakaian bertambal di lorong-lorong sempit Madinah. Suatu malam, ia memikul sendiri karung gandum untuk keluarga yang kelaparan. "Bagaimana aku akan merasa tenang di akhirat nanti," katanya, "jika ada rakyatku yang masih menderita?"

Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah menjadi khalifah, tetap berdagang ke pasar. Saat rakyatnya protes, ia menjawab dengan hikmah, "Dari mana lagi aku akan menafkahi keluargaku?" Sebuah ketawadhuan yang lahir dari kesadaran akan tanggung jawab.

Generasi tabi'in pun tak ketinggalan. Hasan Al-Bashri, sang ulama besar, suatu hari dikritik oleh seorang budak wanita tentang jawabannya yang terlalu berbelit. Alih-alang marah, beliau justru menunduk dan berkata, "Engkau benar, wahai hamba Allah. Kami ini banyak bicara tetapi sedikit amal." Sebuah pelajaran tentang kerendahan hati yang menyentuh kalbu.

Dalam konteks kekinian, kata-kata bijak sering kita dengar:

"إِنَّ التَّوَاضُعَ صِفَةٌ تَرْفَعُ صَاحِبَهَا وَإِنْ وَضَعَ نَفْسَهُ بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَبَيْنَ يَدَيْ خَلْقِهِ، وَإِنَّ التَّكَبُّرَ صِفَةٌ تَضَعُ صَاحِبَهَا وَإِنْ رَفَعَ نَفْسَهُ عِنْدَ النَّاسِ"

"Sesungguhnya tawadhu' adalah sifat yang mengangkat derajat pemiliknya, meskipun ia merendahkan dirinya di hadapan Allah dan makhluk-Nya. Dan sesungguhnya kesombongan adalah sifat yang merendahkan derajat pemiliknya, meskipun ia mengangkat dirinya di hadapan manusia."

Kata-kata ini bagai pisau bedah yang membedah hakikat manusia. Lebih jauh dikatakan:

"لَيْسَ التَّوَاضُعُ أَنْ تَضَعَ نَفْسَكَ حَتَّى يَزْدَرِيَكَ النَّاسُ، وَلَكِنَّهُ أَنْ تَعْرِفَ لِنَفْسِكَ قَدْرَهَا فَتَضَعَهَا فِي مَوْضِعِهَا"

"Tawadhu' bukanlah engkau merendahkan dirimu hingga orang lain merendahkanmu. Tetapi tawadhu' adalah ketika engkau mengetahui hakikat dirimu, lalu engkau menempatkannya pada tempat yang semestinya."

Inilah hakikat tawadhu' yang sebenarnya: kesadaran akan posisi sejati diri di hadapan Kemahaan Ilahi.

Rasulullah Salallahu alaihi wasalam bersabda dalam hadits yang masyhur:

"لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ"

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi." (HR. Muslim)

Seorang sahabat bertanya, "Bagaimana dengan orang yang suka memakai pakaian dan sandal yang bagus?" Nabi menjawab dengan penuh hikmah:

"إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ"

"Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim)

Hadits ini membedakan dengan tegas antara kecintaan pada keindahan -- yang merupakan fitrah -- dengan kesombongan yang bersemayam di hati.

Lantas, bagaimana kita mempraktikkan tawadhu' di zaman yang penuh dengan kompetisi dan gempuran ego ini? Pertama, dengan selalu mengingat asal-usul kita yang hina. Kedua, dengan menyadari bahwa semua kelebihan adalah amanah Ilahi. Ketiga, dengan membiasakan diri bergaul dengan semua lapisan masyarakat tanpa merasa tinggi. Keempat, dengan selalu siap menerima kebenaran dari siapapun.

Ketawadhuan adalah magnet kasih sayang. Rasulullah bersabda:

"مَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ"

"Tidaklah seseorang bertawadhu' karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya." (HR. Muslim)

Pada akhirnya, tawadhu' adalah cermin dari ma'rifatullah dan ma'rifatun nafs. Ia adalah bunga yang mekar dari taman tauhid. Semakin seseorang mengenal kebesaran Allah, semakin kecillah ia di matanya sendiri. Inilah jalan menuju kemuliaan sejati—jalan yang ditempuh oleh para pecinta Ilahi sepanjang zaman.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Posted at: 2025-09-08 08:40:55