Hafsah binti Umar: Penjaga Mushaf dan Sahabat Setia dalam Rumah Tangga Nabawi

Oleh: Inayatullah A. Hasyim

Dalam sejarah Islam awal, terdapat sosok-sosok wanita yang tidak hanya menjadi pendamping Nabi, tetapi juga menjadi pilar peradaban yang baru lahir. Di antara mereka, Hafsah binti Umar bin Khattab menempati posisi unik. Ia bukan sekadar putri dari salah satu sahabat terdekat Rasulullah, bukan hanya istri Nabi yang setia, melainkan juga penjaga warisan Ilahi yang paling berharga: mushaf Al-Qur'an. Kisahnya adalah narasi tentang keteguhan pendirian, kecerdasan kritis, dan dedikasi tanpa batas terhadap kemurnian wahyu.

Biografi Singkat: Dari Keluarga Pejuang Menuju Pelindung Wahyu

Hafsah dilahirkan di Mekah lima tahun sebelum kenabian, tepatnya sekitar tahun 605 M. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang terhormat dan dikenal dengan keteguhan prinsip. Ayahnya, Umar bin Khattab, awalnya adalah tokoh yang gigih memusuhi Islam sebelum kemudian menjadi salah satu pilar utamanya. Darah pejuang mengalir deras dalam nadinya. Ia memeluk Islam bersama kedua orang tuanya di masa-masa awal dakwah, turut menanggung beban penganiayaan yang dilancarkan Quraisy terhadap kaum Muslimin.

Di usia muda, Hafsah menikah dengan Khunais bin Hudzafah, seorang pemuda Muslim yang ikut berhijrah ke Habasyah kemudian ke Madinah. Pernikahan mereka dibangun di atas dasar iman dan perjuangan. Namun, takdir berkata lain. Khunais gugur dalam Perang Badar, meninggalkan Hafsah sebagai janda di usia yang sangat muda, 18 tahun. Kesedihan yang mendalam menyelimuti Umar melihat putrinya yang masih belia harus menjalani kehidupan sebagai janda.

Pernikahan Mulia: Dari Niat Ayah yang Tulus

Umar bin Khattab, yang concern dengan masa depan putrinya, kemudian mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq untuk menawarkan Hafsah. Namun Abu Bakar diam saja, tidak memberikan jawaban. Kecewa, Umar pun mendatangi Utsman bin Affan yang saat itu juga baru menjanda setelah wafatnya Ruqayyah, putri Rasulullah. Utsman menjawab dengan halus, "Aku perlu mempertimbangkan urusanku saat ini."

Sedih dan kecewa, Umar mengadukan hal ini kepada Rasulullah. Dengan senyum bijak, Rasulullah bersabda, "Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman, dan Utsman akan menikah dengan yang lebih baik dari Hafsah." Ternyata, Rasulullah sendirilah yang bermaksud menikahi Hafsah. Abu Bakar kemudian menjelaskan bahwa diamnya dulu karena ia tahu Rasulullah berencana menikahi Hafsah.

Pernikahan ini terjadi pada tahun ketiga Hijriyah, membawa Hafsah ke dalam posisi sebagai Ummul Mukminin. Bagi Umar, ini adalah kehormatan yang tak terkira. Bagi Hafsah, ini adalah babak baru dalam pengabdiannya kepada Islam.

Peran dalam Dakwah: Penjaga Mushaf dan Kritikus yang Jujur

Hafsah dikenal dengan kepribadiannya yang kuat, tegas, dan kritis — cerminan dari karakter ayahnya. Ia tidak segan menyampaikan pendapat dan keberatan secara langsung kepada Rasulullah, yang justru menunjukkan kedekatan dan kejujuran dalam hubungan mereka. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ قَالَ: وَاللَّهِ إِنْ كُنَّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَا نَعُدُّ لِلنِّسَاءِ أَمْرًا حَتَّى أَنْزَلَ اللَّهُ فِيهِنَّ مَا أَنْزَلَ وَقَسَمَ لَهُنَّ مَا قَسَمَ فَبَيْنَا أَنَا فِي أَمْرٍ أَتَأَمَّرُهُ إِذْ قَالَتْ لِي امْرَأَتِي: لَوْ صَنَعْتَ كَذَا وَكَذَا فَقُلْتُ لَهَا: مَا لَكِ وَلِمَا هَاهُنَا؟ وَمَا تُكَلِّفُكِ فِي أَمْرٍ أُرِيدُهُ؟ فَقَالَتْ لِي: عَجَبًا لَكَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ مَا تُرِيدُ أَنْ تُرَاجَعْ أَنْتَ وَإِنَّ ابْنَتَكَ لَتُرَاجِعُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يَظَلَّ يَوْمَهُ غَضْبَانَ فَخَرَجْتُ...

Dari Umar bin Khattab,ia berkata: "Demi Allah, dahulu di masa jahiliyah kami tidak menganggap perempuan berarti sama sekali, sampai Allah menurunkan ketentuan tentang mereka dan memberikan bagian untuk mereka. Suatu ketika aku sedang memikirkan suatu urusan, tiba-tiba istriku berkata: 'Alangkah baiknya jika engkau berbuat begini dan begitu.' Aku menjawab: 'Urusan apa lagi yang kau campuri? Untuk apa kau ikut campur dalam urusanku?' Istriku menjawab: 'Aneh sekali engkau wahai Ibnul Khattab! Engkau tidak suka didebat, padahal putrimu (Hafsah) berdebat dengan Rasulullah sampai-sampai beliau marah seharian.' Maka aku pun pergi..."

Dialog ini menggambarkan karakter kritis Hafsah yang tidak segan menyampaikan pendapatnya bahkan kepada Rasulullah sekalipun. Namun, justru dalam keberaniannya untuk bersikap jujur inilah terletak nilai kesetaraan dalam Islam.

Peran terbesar Hafsah dalam dakwah adalah sebagai penjaga mushaf Al-Qur'an. Setelah wafatnya Rasulullah dan banyaknya penghafal Al-Qur'an yang gugur dalam Perang Yamamah, Abu Bakar ash-Shiddiq atas usulan Umar, memutuskan untuk mengumpulkan Al-Qur'an dalam satu mushaf. Mushaf pertama ini kemudian disimpan oleh Abu Bakar, dan setelah wafatnya beralih kepada Umar, dan akhirnya diserahkan kepada Hafsah untuk dijaga. Mushaf inilah yang kemudian menjadi rujukan utama dalam penyalinan mushaf standar di masa Khalifah Utsman.

Dalam Catatan Sejarah: Siyar A'lam An-Nubala

Imam Adz-Dzahabi, dalam kitab Siyar A'lam An-Nubala', memberikan apresiasi mendalam terhadap pribadi Hafsah. Beliau menggambarkannya sebagai wanita yang sangat shalehah, banyak berpuasa, dan mendirikan shalat malam. Imam Adz-Dzahabi juga mencatat bahwa Hafsah adalah salah satu istri Nabi yang paling pandai baca tulis—sebuah keahlian yang langka di kalangan wanita Arab saat itu.

Yang menarik, Imam Adz-Dzahabi juga mengutip penilaian Aisyah tentang Hafsah: "Dia adalah putri ayahnya," maksudnya mewarisi keteguhan dan kekuatan karakter Umar bin Khattab. Meski terkadang terjadi ketegangan antara mereka —sebagaimana biasa dalam hubungan manusia — namun mereka tetap saling menghormati sebagai sesama Ummul Mukminin.

Imam Adz-Dzahabi juga mencatat dengan detail peran Hafsah dalam penjagaan mushaf. Beliau menekankan bahwa kepercayaan untuk menyimpan mushaf pertama itu diberikan kepada Hafsah karena kapasitas intelektual dan ketakwaannya, bukan semata-mata karena statusnya sebagai putri Umar atau istri Nabi.

Hikmah dan Refleksi: Pelajaran dari Keteguhan Hafsah

Dalam konteks kontemporer, kisah Hafsah mengajarkan kita tentang pentingnya peran wanita dalam menjaga warisan intelektual dan spiritual peradaban. Bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai aktor utama. Hafsah dengan tanggung jawabnya menjaga mushaf Al-Qur'an, membuktikan bahwa wanita mampu memikul amanah terbesar sekalipun.

Kedua, karakter kritis Hafsah mengajarkan bahwa dalam Islam, menyampaikan pendapat—bahkan kepada otoritas tertinggi—adalah sesuatu yang dibolehkan selama dilandasi niat baik dan cara yang santun. Ia tidak takut untuk berbeda pendapat dengan Rasulullah, karena ia yakin bahwa kejujuran lebih baik daripada kepura-puraan.

Ketiga, dari Hafsah kita belajar bahwa status sosial yang tinggi—sebagai putri Umar dan istri Nabi—tidak membuatnya lalai akan tanggung jawab. Justru sebaliknya, ia semakin giat beribadah dan mengabdi kepada Islam. Ini adalah pelajaran tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi privilege: bukan untuk berleha-leha, tetapi untuk lebih banyak berkontribusi.

Terakhir, peran Hafsah dalam penjagaan mushaf mengajarkan kita tentang pentingnya dokumentasi dan preservasi pengetahuan. Andai bukan karena inisiatif Abu Bakar dan Umar, serta andai bukan karena kesediaan Hafsah untuk menjadi penjaga mushaf, mungkin kita akan kehilangan warisan terpenting Islam. Ini relevan dengan era digital saat ini, di mana kita perlu menjaga kemurnian ajaran agama dari distorsi dan kepalsuan.

Hafsah binti Umar wafat pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, sekitar tahun 41 atau 45 Hijriyah. Ia dimakamkan di Baqi' bersama Ummul Mukminin lainnya. Warisannya tetap hidup: bukan hanya melalui hadits-hadits yang diriwayatkannya, tetapi melalui perannya yang vital dalam menjaga kemurnian Al-Qur'an. Ia mengajarkan bahwa kadang, di balik keteguhan sikap seorang wanita, tersimpan komitmen untuk menjaga warisan abadi bagi generasi mendatang.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posted at: 2025-10-10 09:49:37