Pujian Langit untuk Sang Pejalan Sunyi: Doa Nabi dan Malaikat untuk Abu Dzar Al-Ghifari

Pujian Langit untuk Sang Pejalan Sunyi: Doa Nabi dan Malaikat untuk Abu Dzar Al-Ghifari

Oleh: Inayatullah A. Hasyim
Admin WAG Tausiyah Harian Indonesia.

Di celah bukit Shafa, angin sepoi membawa bisikan keagungan. Seorang lelaki berjubah kasar mendaki dengan langkah rindu. Dialah Jundub bin Junadah -- lebih dikenal dengan nama Abu Dzar Al-Ghifari -- yang baru saja memeluk Islam setelah mendengar kabar kenabian. Saat ia mendekat, malaikat Jibril ‘alaihissalam turun membawa wahyu, lalu tersenyum penuh makna pada Rasulullah ﷺ:

"يَا مُحَمَّدُ، هَذَا أَبُو ذَرٍّ قَدْ أَقْبَلَ. وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا سَخَّرَتِ الْأَرْضُ بِصَاحِبٍ أَصْدَقَ لَهَانَةً مِنْهُ. إِنَّهُ فِي السَّمَاءِ أَشْهَرُ مِنْهُ فِي الْأَرْضِ!"

(“Wahai Muhammad, Abu Dzar telah datang. Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, tak ada seorang pun yang dihamparkan bumi ini yang lebih tulus ucapannya darinya. Sesungguhnya di langit ia lebih masyhur daripada di bumi!”)
(HR. Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat Al-Kubra).

Sabda langit itu menjadi saksi: cahaya hati yang tak terlihat manusia, justru bersinar terang di alam malaikat. Maka Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan doa abadi:

رَحِمَ اللهُ أَبَا ذَرٍّ، يَمْشِي وَحْدَهُ، وَيَمُوتُ وَحْدَهُ، وَيُبْعَثُ وَحْدَهُ

“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Ia berjalan sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.” (HR. Ahmad).

Cahaya yang bersinar di langit itu tak lantas sempurna di bumi. Suatu hari, dalam dahaga amarah, Abu Dzar melukai sahabatnya, Bilal bin Rabah, dengan kata-kata pedih tentang warna kulit. Langit seakan berhenti berputar. Rasulullah ﷺ menatapnya dengan mata berkabut duka:

عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ: سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَبَا ذَرٍّ! أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ؟ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ!"

“Aku mencaci seseorang lalu menghinanya karena ibunya (garis keturunan). Maka Nabi SAW bersabda: ‘Wahai Abu Dzar! Kau hinakah ia karena ibunya? Sungguh dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah!’” (HR. Al-Bukhari).

Teguran itu bagai air menyiram bara kesombongan. Seketika, Abu Dzar menempelkan pipinya ke tanah, memohon pada Bilal: “Kakimu takkan kulepas hingga kau injak wajahku!” Bilal menangis, menarik tangan sahabatnya: “Demi Allah, aku memaafkanmu!” Di situlah keajaiban doa Nabi terpancar: cahaya taubat mengubah kekerasan menjadi kelembutan, membuktikan pujian Jibril tentang kebenaran hatinya yang tak pernah mati. Sebab, dalam kesempatan lain, Nabi ﷺ juga mendoakan Abu Dzar dengan kalimat:

اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ صَدُيقًا، وَاجْعَلْ فِي قَلْبِهِ نُورًا.

"Ya Allah, jadikanlah dia (Abu Dzar) seorang yang benar (shiddiq), dan jadikanlah di dalam hatinya cahaya." (HR. Ahmad, dinilai hasan oleh Al-Arna’uth).

Syaikh Ali Thantawi, dalam mahakaryanya رِجَالٌ مِنَ التَّارِيخِ (Rijāl min al-Tārīkh), menyelami makna pujian Jibril itu:

"لَوْ دَرَى أَبُو ذَرٍّ أَنَّ الْمَلَائِكَةَ فِي السَّمَاءِ تَعْرِفُهُ أَكْثَرَ مِنَ النَّاسِ فِي الْأَرْضِ، لَازْدَادَ تَوَاضُعًا! إِنَّهُ نَمُوذَجُ الْعَبْدِ الَّذِي تَخْتَبِئُ عَظَمَتُهُ فِي قَلْبِ الْمَظْلُومِ، وَتَسْكُنُ صِدْقَتُهُ فِي عَيْنِ الْغَضْبَانِ. فَقِصَّتُهُ مَعَ بِلاَلٍ لَيْسَتْ سَقْطَةً، بَلْ مِصْبَاحٌ يُذَكِّرُنَا أَنَّ الْقَلْبَ الْمُؤْمِنَ حَتَّى إِذَا انْكَسَرَ، تَكْشِفَ انْكِسَارُهُ عَنْ جَوْهَرِ الْإِخْلَاصِ."

“Andai Abu Dzar tahu bahwa para malaikat di langit mengenalnya lebih daripada manusia di bumi, niscaya ia akan bertambah tawadhu! Ia adalah gambaran hamba yang keagungannya tersembunyi dalam hati orang yang terzalimi, dan ketulusannya bersemayam di balik mata yang marah. Kisahnya dengan Bilal bukan kejatuhan, melainkan lentera yang mengingatkan: bahwa hati mukmin -- bahkan saat pecah -- akan menyibakkan keikhlasan sejati.”

Ketika Abu Dzar menghembuskan nafas terakhir di gurun Rabadzah -- sepi tanpa kerumunan manusia -- langit justru merunduk menghormati pejalan sunyi yang dijanjikan Nabi. Jibril tahu rahasianya: kesendiriannya bukan kutukan, melainkan jalan istimewa menuju maqam الصِّدِّيقِيَّة (kebenaran sejati). Air mata taubatnya pada Bilal menjadi saksi: keagungan sejati bukan pada kesempurnaan, tapi pada kerendahan hati saat tergelincir.

Di zaman yang mengukur kemuliaan dari gemerlap dunia, kisah Abu Dzar seakan berbisik: “Bersinarlah meski tak dilihat manusia, sebab langit mencatat cahayamu. Berjalanlah sendirian di jalan-Nya, sebab rahmat Ilahi lebih manis dari segala pujian.”

Semoga Allah merahmati sang pejalan sunyi itu, yang langkah sepinya justru menggema di singgasana-Nya.

Wallahua'lam bish showab.

Posted at: 2025-09-17 00:43:48