Abu Ayub Al-Anshari: Sang Tuan Rumah Nabi dan Pejuang di Ujung Usia

Oleh: Inayatullah A. Hasyim
Ketua LAZ Islamic Relief Indonesia
Admin Tausiyahharian.com

Dalam lembaran sejarah Islam yang gemilang, para sahabat Nabi bagai untaian mutiara yang masing-masing memancarkan cahaya keunikannya. Ada yang bersinar dengan jihadnya, ada yang gemilang dengan ilmunya, dan ada yang dikenang karena pengorbanan harta bendanya. Namun, ada satu sahabat yang kemuliaannya abadi karena sebuah kehormatan tertinggi: menjadi tuan rumah bagi Rasulullah SAW saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah. Dialah Abu Ayub Khalid bin Zaid Al-Anshari Al-Khazraji, sang pemilik rumah yang paling berbahagia dalam sejarah Islam.

Ketika Rasulullah SAW hijrah dari Makkah ke Yatsrib -- yang kemudian berubah menjadi Madinah Al-Munawwarah -- seluruh penduduk kota itu berhasrat menjadi tuan rumah bagi manusia teragung itu. Setiap kabilah berebut untuk mendapat kehormatan tersebut. Namun, keputusan akhir justru diserahkan kepada untanya yang diberi kebebasan berjalan. Unta itu berjalan melewati rumah-rumah penduduk hingga akhirnya berhenti dan duduk di sebuah halaman rumah yang sederhana. Itulah rumah Abu Ayub Al-Anshari.

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Anas bin Malik, Rasulullah SAW bersabda tentang peristiwa bersejarah ini:

أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ، أَرَى سَبْخَةً بَيْنَ لَابَتَيْنِ، وَهُمَا الْحَرَّتَانِ، فَإِمَّا أَنْ أكونَ بِذَلِكَ أُرِيتُ، وَإِمَّا أَنَّهُ قَدْ أُخِذَ بِيِضَ النَّاقَةِ

"Aku telah diperlihatkan tempat hijrah kalian. Aku melihat sebuah tanah yang subur yang terletak antara dua lahar (hitam), dan keduanya adalah Al-Harra (daerah berbatu hitam). Entah aku yang diperlihatkan demikian, atau untalah yang membawaku ke sana." (HR. Al-Bukhari)

Keputusan ilahi melalui unta Nabi ini menjadi awal dari kisah luar biasa tentang hubungan antara seorang nabi dan sahabatnya. Abu Ayub dan istrinya tidak hanya sekadar memberikan tempat tinggal, tetapi mereka memberikan seluruh perhatian dan pengabdiannya. Mereka tidur di lantai bawah sementara Nabi di lantai atas. Ketika air tumpah dari tempat wudhu Nabi, Abu Ayub dan istrinya rela merobek selimut mereka yang terbuat dari bulu untuk menyerap air tersebut, karena takut tetesan itu mengotori Nabi.

Imam Adz-Dzahabi, dalam kitab biografinya yang monumental, Siyar A'lam An-Nubala', menggambarkan keutamaan Abu Ayub Al-Anshari dengan sangat indah. Ringkasannya sebagai berikut:

أَبُو أَيُّوبَ خَالِدُ بْنُ زَيْدٍ الأَنْصَارِيُّ الخَزْرَجِيُّ، وَكَانَ مِنَ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ العَقَبَةِ، وَمِنَ الأَنْصَارِ السَّابِقِينَ. وَهُوَ الَّذِي نَزَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ المَدِينَةَ. وَكَانَ مِنْ أَهْلِ البِدْرِ، وَشَهِدَ المَشَاهِدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وَكَانَ فَاضِلاً، عَابِداً، مُجَاهِداً. وَقَدْ رَوَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَادِيثَ. وَكَانَ مِمَّنْ حَفِظَ القُرْآنَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

"Abu Ayub Khalid bin Zaid Al-Anshari Al-Khazraji, ia termasuk di antara nuqaba' (para pemimpin) pada malam Baiat Aqabah, dan termasuk orang Anshar yang paling awal masuk Islam. Dialah orang yang rumahnya didatangi Rasulullah SAW ketika tiba di Madinah. Ia termasuk ahli Badr, dan menyertai berbagai peperangan bersama Rasulullah SAW. Ia adalah seorang yang mulia, ahli ibadah, dan pejuang. Ia telah meriwayatkan beberapa hadits dari Nabi SAW. Dan ia termasuk orang yang menghafal Al-Qur'an pada masa Rasulullah SAW." (Imam Adz-Dzahabi, Siyar A'lam An-Nubala', Jilid 2, halaman 403 sd 415, Muassasah Ar-Risalah, Beirut. Kutipan dengan ringkasan.)

Sebagai seorang sahabat yang memiliki integritas tinggi, Abu Ayub dikenal berani menyuarakan kebenaran. Salah satu peristiwa penting yang menunjukkan hal ini terjadi setelah Perang Hunain. Saat itu, Rasulullah SAW membagikan harta rampasan perang (ghanimah) dengan memberikan bagian yang lebih besar kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam (mu'allafatu qulubuhum) untuk melunakkan hati mereka. Melihat hal ini, Abu Ayub dan beberapa sahabat Anshar lainnya merasa kecewa.

Dengan keberanian yang disertai adab, Abu Ayub menyampaikan protesnya secara langsung kepada Rasulullah SAW. Dalam Shahih Muslim diriwayatkan:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَمَا تَرْضَوْنَ أَنْ يَذْهَبَ النَّاسُ بِالدُّنْيَا وَتَذْهَبُونَ بِرَسُولِ اللَّهِ إِلَى رِحَالِكُمْ؟ وَلَوْ سَلَكَ النَّاسُ وَادِيًا وَسَلَكَتِ الأَنْصَارُ شِعْبًا لَسَلَكْتُ شِعْبَ الأَنْصَارِ"

"Rasulullah SAW bersabda: 'Tidakkah kalian rela bahwa orang-orang pergi dengan membawa dunia (harta benda), sementara kalian pulang membawa Rasulullah ke rumah-rumah kalian? Seandainya manusia menempuh satu lembah dan orang-orang Anshar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan orang-orang Anshar'." (HR. Muslim)

Jawaban Nabi ini langsung meredakan kegelisahan Abu Ayub dan sahabat Anshar lainnya. Mereka pun menangis dan berkata, "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."

Keistimewaan Abu Ayub tidak berhenti saat Nabi pindah ke rumahnya sendiri. Ia terus setia mendampingi Nabi dalam setiap peperangan. Ia mengikuti Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan semua peperangan setelahnya. Bahkan di usia senjanya, semangat jihadnya tidak pernah padam. Ketika Kaisar Romawi mengerahkan pasukan besar untuk menyerang kaum Muslimin, Abu Ayub yang sudah berusia lebih dari 80 tahun ikut bergabung dalam pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah.

Dalam sebuah riwayat yang sangat mengagumkan, diceritakan bahwa ketika pasukan Muslim sampai di depan Konstantinopel, Abu Ayub jatuh sakit. Saat ajal menjemput, ia berwasiat:

إِذَا مِتُّ فَاحْمِلُونِي، ثُمَّ تَقَدَّمُوا بِي إِلَى أَقْصَى مَا تَسْتَطِيعُونَ مِنَ الأَرْضِ، ثُمَّ احْفِرُوا لِي وَادْفِنُونِي هُنَاكَ

"Jika aku mati, bawalah jenazahku, lalu bawa maju ke depan sejauh yang kalian bisa, kemudian kuburkan aku di sana."

Wasiat ini menunjukkan semangat jihadnya yang tak pernah pudar. Bahkan setelah mati pun, ia ingin dikuburkan di wilayah paling depan yang bisa dicapai oleh pasukan Muslim, sebagai bentuk dukungan moril bagi para pejuang yang masih hidup.

Rasulullah SAW sendiri telah memberikan kabar gembira tentang orang-orang yang berperang di Konstantinopel. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi bersabda:

أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ البَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا. وَأَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ

"Pasukan pertama dari umatku yang berperang melintasi laut telah dijamin (surga). Dan pasukan pertama dari umatku yang menyerang kota Kaisar (Konstantinopel) diampuni dosa-dosanya." (HR. Ahmad)

Abu Ayub wafat dan dimakamkan di bawah tembok Konstantinopel. Para sahabatnya melaksanakan wasiatnya dengan sempurna. Hingga hari ini, makamnya menjadi tempat yang dikunjungi kaum Muslimin, menjadi simbol dari semangat jihad dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya yang tidak kenal batas usia.

Kisah Abu Ayub Al-Anshari mengajarkan kita tentang makna keramahan yang sebenarnya dalam Islam. Keramahan bukan sekadar menyediakan tempat tinggal, tetapi tentang memberikan yang terbaik untuk tamu, terutama tamu yang membawa cahaya ilahi. Ia juga mengajarkan tentang semangat jihad yang tidak pernah padam oleh usia. Selama masih ada kesempatan dan kemampuan, seorang Muslim harus terus berkontribusi untuk agama Allah

Peristiwa protesnya setelah Perang Hunain mengajarkan kita tentang pentingnya menyampaikan suara hati dengan cara yang baik dan tetap menjaga adab kepada pemimpin. Meskipun merasa tidak puas dengan suatu kebijakan, Abu Ayub menyampaikannya dengan sopan dan langsung kepada Rasulullah, bukan dengan menggerutu atau menyebarkan ketidakpuasan di antara sahabat lainnya.

Dalam konteks kekinian, figur Abu Ayub mengingatkan kita untuk selalu siap menjadi tuan rumah bagi nilai-nilai Islam dalam kehidupan kita. Menjadi tuan rumah bagi ilmu, bagi kebaikan, bagi persaudaraan, dan bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Sebagaimana rumahnya menjadi tempat turunnya rahmat Allah melalui kehadiran Nabi, hendaknya rumah-rumah kita juga menjadi tempat turunnya rahmat melalui penghayatan nilai-nilai keislaman.

Semoga kita dapat meneladani ketulusan, pengorbanan, dan semangat juang Abu Ayub Al-Anshari, sang tuan rumah Nabi yang setia hingga akhir hayatnya.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Posted at: 2025-09-16 22:12:17